Acara konferensi ini dibagi menjadi 2 sesi. Pada sesi pertama, peserta konferensi mengadakan Jambore di Bumi Perkemahan Sibolangit, Sumatera Utara. Pada sesi ini peserta mengunjungi desa Mardinding yang terkena dampak erupsi, pos pengungsian di UKA, serta berdiskusi dengan pemerintah lokal. Peserta juga kembali belajar dan berdiskusi mengenai manajemen pengungsian.
Dari hasil kunjungan dan diskusi tersebut, terungkap bahwa masih ada hal-hal yang membutuhkan perhatian khusus dari pihak pemerintah dan organisasi-organisasi pemerhati bencana. Peserta konferensi, misalnya, menemukan bahwa masih terjadi ketidakjelasan informasi dan data mengenai jumlah kepala keluarga di tempat pengungsian dan di desa yang terkena dampak erupsi. Peserta juga menekankan perlunya mencari alternatif mata pencaharian bagi warga yang kehilangan lahan pertaniannya.
Namun peserta juga menemukan hal yang patut diapresiasi, seperti cepatnya koordinasi dan respon antara petugas di pos pemantauan dan warga di sekitar Gunung Sinabung ketika terjadi bencana. Selain itu, semangat dari warga yang tinggal di tenda pengungsian untuk tetap menyekolahkan anak-anaknya juga terlihat.
“Kami bisa melihat semangat warga yang memilih untuk menyekolahkan anak-anaknya. Mereka tidak mengeluh, dan tetap bertahan untuk melanjutkan hidup,” ujar Rini, salah satu peserta dari Lutheran World Relief (LWR).
Konferensi ini ditutup dengan seminar untuk membahas keberlanjutan kerjasama di antara 64 organisasi pemerhati bencana tersebut. Dalam penutupnya, Kepler Silaban, yang menjadi salah satu moderator mengungkapkan rasa bangganya terhadap forum LEARN. “Semua organisasi pasti memiliki prioritas masing-masing, tidak mudah mengumpulkan 64 organisasi seperti ini. Oleh karena itu saya yakin bahwa kita semua mau hadir di sini karena komitmen dan semangat volunteerism,” ujar Direktur CDRM&CDS tersebut.